Sunday, June 22, 2014

Konsolidasi Lahan - Studi Kasus Terminal Baru Wonosari, Gunungkidul



Konsolidasi lahan menurut Perarturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991 adalah kebijaksanaan Pertanahan mengenai penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, sesuai dengan tata ruang wilayah. Dari pengertian diatas, dapat dipahami bahwa titik utama dari konsolidasi lahan adalah pada penataan kembali dan tata ruang wilayah. Dengan konsolidasi lahan diharapkan dilakukan penataan kembali dari penggunaan lahan yang ada sehingga dapat sesuai dengan tata ruang yang ada. Dari sini muncul kesulitan dari konsolidasi lahan itu sendiri, dimana kegiatan menata kembali penggunaan lahan yang sudah ada tentu tidak mudah, karena tentu akan muncul konflik dengan penggunaan yang sudah ada.
            Salah satu tujuan dari pelaksanaan konsolidasi lahan adalah untuk meningkatkan kebermanfaatan lahan yang sudah ada. Tujuan ini menyebabkan konsolidasi lahan juga sering dilakukan pada lahan kosong, dengan harapan dengan sudah tertatanya lahan kosong tersebut ketika berubah menjadi lahan terbangun akan memilki nilai yang lebih baik dan merata. Badan Pangan Dunia (FAO) sendiri juga menyatakan bahwa konsolidasi lahan merupakan salah satu titik pembuka dalam perkembangan daerah pedesaan, sehingga menjadi instrumen yang penting dalam perencanaan.
            Contoh kasus konsolidasi lahan yang dapat dilakukan adalah pada lahan disekitar Terminal Baru Wonosari, dimana mayoritas penggunaan lahannya masih berupa sawah. Dengan adanya pusat ekonomi baru pada lokasi tersebut, yaitu terminal, menyebabkan potensi wilayah tersebut untuk terjadinya konversi lahan cukup besar. Pada kondisi ini, kegiatan konsolidasi lahan sangat diperlukan, dimana tujuannya untuk mengoptimalkan penggunaan lahan sekitar terminal tersebut sehingga memiliki nilai yang lebih baik dan tetap mengikuti rencana tata ruang yang ada.



            Gambar diatas merupakan gambaran kondisi yang ada disekitar terminal Baru Wonosari. Terlihat bahwa mayoritas penggunaan lahan yang ada masih berupa persawahan. Hal menarik lainnya adalah adanya jalan ring road timur Wonosari yang sebelumnya juga digunakan untuk merangsang perkembangan kota yang merata. Dengan keberadaan kedua aspek ini mendorong untuk semakin besarnya potensi konversi lahan menjadi lahan permukiman atau terbangun. Faktor lain yang perlu diperhatikan adalah jarak dengan lokasi Kota Wonosari (secara fisik) yang relatif dekat menyebabkan potensi ini semakin besar.
            Kondisi yang telah dipaparkan diatas menunjukkan bahwa besar potensi area yang ada di ddalam ring road untuk terjadi konversi lahan. Oleh karena itu, perlu adanya konsolidasi lahan untuk mengarahkan proses konversi yang mungkin terjadi untuk menghasilkan pemanfaatan lahan yang lebih baik. Salah satu langkah konsolidasi lahan yang dapat dan sering dilakukan adalah dengan pembuatan jaringan jalan yang baru. Dengan kondisi lahan terbangun yang masih minim pada area target konsolidasi menyebabkan tingkat kesulitan pelaksanaan menurun, termasuk dalam biaya pelaksanaan, dimana kondisi lahan yang belum terlalu tinggi nilai ekonominya. Pembuatan jaringan jalan yang dapat dilakukan adalah dengan membuat jalan-jalan baru yang menyambungkan jalan-jalan dari kota ke arah jalan ring road. Pembuatan jalan ini dilakukan baik secara melintang (barat-timur) ataupun ke arah utara dan selatan. Hasil akhirnya adalah berupa jaringan jalan yang membagi area kajian menjadi blok-blok.
            Proses konsolidasi lain yang dapat dilakukan adalah dengan pembuatan rencana tata ruang. Pembuatan ini dapat dengan memodifikasi tata ruang bila sudah ada, atau memasukkan area tersebut ke dalam pertimbangan pembuatan tata ruang jika tata ruang belum disusun. Dengan memasukkan area tersebut kedalam perencanaan tata ruang, maka dalam pelaksanaan konsolidasi lahan selanjutnya akan memiliki dasar yang lebih kuat, karena didukung dengan tata ruang yang disusun.
            Proses konsolidasi lahan tentu tidak dapat terlepas dari konflik berbagai pihak, baik dari pemerintah daerah sebagai pelaksana, dan warga setempat yang memiliki sebagian lahan yang ada. Oleh karena itu, proses sosialisasi dan edukasi akan diperlukan ketika konsolidasi lahan dilakukan. Disinilah peran akademisi akan dapat berkontribusi dalam pelaksanaan konsolidasi lahan.


Referensi :
Kepala Badan Pertanahan Nasional. 1991. Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Tentang Konsolidasi Lahan
Premonowati, Widhyasih. 2006. Konsolidasi Lahan Perkotaan Secara Swadaya untuk Perumahan di Kota Tegal. Tesis. Semarang : Universitas Diponegoro
http://www.fao.org/docrep/006/y4954e/y4954e06.htm diakses oleh Ridwan Nurzeha pada tanggal 19 Juni 2014

No comments:

Post a Comment